Jumat, 16 November 2012

Kenapa Tunjangan Pengangguran Tidak ada di Sistem Jaminan Sosial Nasional?


Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ternyata terlambat terus mungkin karena pemerintahan kita dipimpin oleh pemimpin yang lamban. Padahal beliau adalah mantan tentara yang selalu siap sedia membela negara. Bila dilihat dalam  pasal 18 UU no 20 tahun 2004 tentang SJSN  tentang Jenis Program Jaminan Sosial  adalah:
a. jaminan kesehatan
b. jaminan kecelakaan kerja
c. jaminan hari tua
d. jaminan pensiun
e. jaminan kematian

Sedangkan Pada penjelasan undang undang No 40 Tahun pada paragraf 3 Berbunyi
Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program Negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.
Bila dibaca dengan seksama pada paragraf tersebut diatas jelas ditulis tentang kehilangan pekerjaan. Tapi pada pasal 18 hal tersebut tidak dalam cakupan program jaminan sosial.  

Bila kita coba cari Sistem serupa pada negara lain jelas terlihat perhatian cukup besar dalam masalah kehilangan pekerjaan.  Tapi sayang di Indonesia hal tersebut tidak menjadi perhatian besar. Hal tersebut menjadikan masalah yang terjadi pada saat ini.  Perusahaan engan untuk menerima pegawai tetap karena ada peraturan tentang pesangon pada pegawai tetap. Bila saja SJSN mencakup Bantuan Terhadap Pengaguran nicaya UU tentang NO 13/2003 pasal 156 tentang pemberian pesangon dan uang penghargaan bisa diminimalkan.

Kekisruhan dalam ketenaga kerjaan ternyata berkaitan erat dengan  SJSN.  Bila saja pemerintah ingin agar pengusaha mau mengurangi kerja outsourcing dan pegawai kontrak maka kedua pasal diatas harus direvisi. Tapi harus di ingat bahwa implementasi dari Jaring Pengaman Sosial harus dimantapkan terlebih dahulu sebelum pengurangn pemberian pesangon dan uang penghargaan. 

Jumat, 09 November 2012

Progremmer Java dan Pengemis Tua


Ada sebuah cerita yang mungkin benar yang cukup mengelikan tentang pertemuan antara seorang Sarjana dan seorang pengemis. Ceritanya seperti ini...

Ada seorang programmer Java yang bernama Andi keluar dari sebuah kantor di bilangan sudirman. Karena dia baru lulus gajinya hanya ditawar 3 juta perbulan. Setelah berapa lama berjalan Andi tiba di depan kampus dekat jembatan semanggi.  Setelah jajan teh botol dia bertemu dengan sorang pengemis tua. Andi merasa kasihan dengan pengemis tersebut lalu dia mengambil beberapa lembah uang seribu rupiah dan memberikan pada pengemis tua itu.  
Karena Andi seorang programmer Java yang iseng dan tanya pada pengemis tua tersebut. "Pak sebagai pengemis kita-kira sehari bapak dapat berapa?". Dengan santai bapak tua itu menjawab "Ya bisanya dapat 300 ribu".  Mendengar itu Andi terperanjat. Kerja sebagai pengemis tidak seberapa berat tapi bisa melebihi apa yang dia dapat dengan banting tulang. Dalam hati Andi bicara "Saya aja yang harus kerja sampe malam-malam hanya dapat 3 juta perbulan bapak tua ini dengan hanya duduk bisa dapat tiga kali gaji ku. Wahh hebat juga".  Dengan tersenyum Andi memuji Bapak tua itu "Wah hebat, bapak sehari bisa dapat 300 ribu.". 
Lalu bapak tua itu berkata "Ialah saya kan punya 3 anak. Anak saya ada di UI, UKI dan Trisakti.". Mendengar hal tesebut Andi tambah kaget pikir dia waduh dengan menjadi pengemis dia bisa kuliahkan anaknya hebat juga profesi pengemis. Akhirnya Andi nyeletuk juga "Anak-anak bapak semua kuliah?".  Bapak tua itu pergi sambil berkata "Engak lah meraka seperti saya mengemis..".


Cerita diatas adalah sebuah gambaran dari suatu efek negatif dari semangat "Banyak anak Banyak Rejeki.".  Anak diberdayakan untuk mengeruk sejumlah uang. Anak tidak ditempatkan sebagai amanat untuk dididik menjadi lebih baik dari orang tuanya.  Untuk orang berpengahasilan rendah untuk membiayai anak sampai perguruan tinggi adalah sebuah cita-ciat mewah.  Tapi bila hanya 1 orang anak satu kerluarga membiayai sampai perguruan tinggi tentunya akan lebih mungkin dibandingkan harus mengantarkan 3 anak.

Mungkin model ini lah yang harus diupayakan oleh pemerintah mendorong agar keluarga terutama untuk yang mendekati garis kemiskinan mempunyai anak yang minial. Dengan katalain maksimal 1 anak.  Dengan satu anak maka kemungkinan kulitas keturuannya akan lebih baik dari orangtuanya akan lebih besar.  Dan pemerintahpun akan lebih mudah untuk mengakatkan tingkat sosial keluarga tersebut.  Bisa saja pemerintah memberikan sebuah stimulus memberikan kesempatan lebih besar pada keluarga yang mempunyai satu anak untuk menikmati pendidikan tentu akan lebih banyak keluarga yang hanya punya satu anak.  Seringkali ada kehawatiran bila hanya satu anak, kalau anaknya gagal maka keluarga tersebut gagal karena tidak ada lagi anak yang lain.